Malaria “Si Penyakit yang Setia Menghantui Masyarakat Indonesia”, Mengapa Masih Belum Tereliminasi?
Malaria “Si Penyakit yang Setia Menghantui Masyarakat Indonesia”, Mengapa Masih Belum Tereliminasi?
Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit yang menjadi titik utama perhatian dan pencapaian MDGs, yang terdapat di goal 6. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyakit endemis Indonesia yang masih menghantui masyarakat dan sulit untuk dihilangkan. Mulai tahun 1990 – 1992, angka kejadian malaria sebenarnya telah menurun menjadi 1,83 per 1000 kelahiran penduduk. Namun, angka ini terus bergerak secara fluktuatif hingga menaik lagi pada tahun 2010. Dampak malaria tidak seburuk AIDS, tetapi masih saja menimbulkan banyak korban jiwa. Berdasarkan data Riskesdas 2010, kejadian malaria tertinggi terjadi pada balita, yaitu sekitar 23,9% dari total balita yang di Indonesia. Salah satu penyebab masih tingginya penderita malaria balita dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel Pencapaian MDGs Goal 6.6
Menghentikan dan Menurunkan Insiden Malaria dan Penyakit Utama Lainnya
Indikator |
Data MDGs (*) |
Status |
|
6.6 |
Angka insiden dan kematian akibat malaria (per 1000 penduduk) |
|
|
6.6a |
Angka insiden malaria (per 1000 penduduk) |
1,85 (MOH 2009); 2,4% (Riskesdas, 2010) |
On track |
- Insiden malaria di Jawa dan Bali |
0,16 (API, MOH 2008) |
On track |
|
- Insiden malaria di luar Jawa dan Bali |
17,77 (API, MOH 2008) |
On track |
|
6.7 |
Proporsi balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida |
3,3% (BPS, 2007) Pedesaan: 4,5% (BPS, 2007) Perkotaan: 1,6% (BPS, 2007); 7,7% (Riskesdas, 2007); 16,0% (Riskesdas, 2010) |
Need Special Attention |
6.8 |
Proporsi balita demam yang diberi obat antimalaria yang tepat |
21.9% (Riskesdas, 2010) |
|
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa indikator 6.6a sedang dalam tahap menuju pencapaian. Namun, pencapaian indikator 6.7, yaitu proporsi penggunaan kelambu berinsektisida pada balita masih rendah sehingga membutuhkan perhatian dan solusi pemecahan yang tepat. Rendahnya penggunaan kelambu pada balita, baik di perkotaan maupun pedesaan, sebagai salah satu media pencegahan malaria ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap masih tingginya angka kejadian malaria di Indonesia.
Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai goal 6 ini adalah masih kurang dan tidak efektifnya aksi pencegahan terhadap malaria, yang terbukti dari: rendahnya implementasi surveilens epidemiologi di berbagai daerah; kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan dan kontrol terhadap vektor penyakit (nyamuk Anopheles); serta terbatasnya sarana dan sistem informasi sehingga tidak mampu menjembatani pemahaman masyarakat di level komunitas dan keluarga mengenai upaya pencegahan malaria yang tepat. Selain itu berdasarkan data Riskesdas 2010, proporsi pemanfaatan fasilitas pemeriksaan darah malaria oleh rumah tangga di pedesaan dan perkotaan masing-masing hanya sebesar 16,8% dan 13,5%. Hal ini menunjukkan bahwa selain kurangnya kesadaran terhadap upaya pencegahan, atensi dan deteksi dini terhadap penyakit di level keluarga serta kemauan untuk menggunakan pelayanan kesehatan juga masih rendah sehingga munculnya malaria seringkali terlambat disadari, terutama pada balita.
Untuk mengatasi tantangan di atas, diperlukan solusi yang bersifat promotif dan berkesinambungan sehingga dapat diterapkan menjadi suatu kebiasaan oleh masyarakat. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan fungsi PKK, Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dan Posyandu dengan terlebih dahulu menjalin kerja sama antara petugas kesehatan dengan tokoh masyarakat (Toma) dan LSM daerah setempat.
Toma akan mengajak para ibu untuk rajin berkonsultasi melalui ketiganya. PKK berfungsi sebagai sarana penyuluh dan pengasup pengetahuan kesehatan keluarga melalui ibu. Poskesdes berfungsi sebagai penyedia materi dan media informasi bersifat promotif dan edukatif (melalui poster, iklan kesehatan, perpustakaan kesehatan mini, dll) yang bersifat berkala dan inilah yang membedakannya dengan Puskesmas yang bersifat kuratif. Jadi, secara rutin diberikan materi dan peragaan terkait kesehatan kepada para ibu, terutama tentang penyakit dan cara pencegahannya. Misalnya mengenai malaria, diberikan materi tentang habitat Anopheles, cara penularan, pencegahan, penggunaan kelambu/insektisida dan pengetahuan tentang mengenali gejala penyakit. Selain itu, sebagai penarik minat masyarakat, pada beberapa pertemuan dapat diselipkan pemberian media preventif gratis, seperti kelambu anti nyamuk, bubuk abate, dll. Terakhir, pemilihan Posyandu sebagai sarana intervensi didasarkan pada angka kasus malaria terbesar yang terjadi pada balita. Jadi, selain penimbangan dan imuniasi, alangkah baiknya dilakukan pula semacam FGD ibu untuk memantau pengetahuan kesehatan mereka.
Upaya di atas memang memerlukan banyak tenaga kesehatan, kader dan dana. Namun, hal tersebut tetap mungkin untuk direalisasikan karena keterbatasan SDM dapat diatasi dengan kerja sama antara pemerintah daerah dengan LSM dan mahasiswa kesehatan di daerah setempat/terdekat. Sedangkan untuk permasalahan dana dapat diatasi dengan optimalisasi 15% anggaran kesehatan dari APBN. Adanya desentralisasi sebetulnya dapat mempermudah terwujudnya upaya pencegahan malaria terutama di daerah-daerah endemis. Namun, semua ini kembali kepada pola kepemimpinan di setiap daerah yang belum semuanya terbuka terhadap masukan baru dikarenakan masih adanya pengaruh adat istiadat, tradisi dan pola pemikiran daerah setempat. Ketidakterbukaan inilah yang di beberapa daerah, masih menjadi hambatan bagi terlaksananya upaya-upaya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Sumber:
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas2010.pdf (diakses Kamis, 4 Oktober 2012 jam 12.00 WIB).
Ministry of Development Planning Report on the Achievement of MDGs Indonesia 2010. Ministry of Development Planning/Bappenas. 2010: hal.86